Menjemput SK, Menjemput Harapan: Cerita PPPK di Buru Selatan
Namrole – Fajar di pesisir Teluk Namrole selalu datang dengan wajah lembut. Ombak kecil berlari ke tepi, mencium pasir putih sebelum kembali pulang. Dari kejauhan, Gunung Koja Kamis berdiri gagah, hijau dengan rimbun pepohonan, seakan menjadi penjaga setia tanah Buru Selatan.
Pada Senin pagi, 29 September 2025, di bawah naungan gunung itu, halaman Kantor Bupati Buru Selatan akan dipenuhi wajah-wajah penuh harap. Mereka adalah para Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahap I Formasi 2024. Ada yang datang dari desa pesisir, ada pula yang menempuh perjalanan panjang dari pedalaman. Semuanya menanti satu hal: selembar SK yang akan mengubah jalan hidup mereka.
Bagi sebagian orang, SK hanyalah dokumen administratif. Namun bagi mereka, SK itu adalah bukti perjuangan panjang. Ada yang telah bertahun-tahun mengajar di sekolah terpencil dengan gaji tak seberapa. Ada yang setia mendampingi pelayanan kesehatan di puskesmas jauh dari kota. Ada pula yang rela menempuh jalan berlumpur setiap hari demi memastikan roda pelayanan publik tetap berputar.
Hari itu, langkah mereka akan lebih ringan. Senyum akan lebih lebar, meski mata mungkin berkaca-kaca. Karena apa yang mereka perjuangkan akhirnya sampai di pelabuhan pengakuan.
Di antara kerumunan, mungkin ada seorang guru yang teringat anak-anak didiknya di kelas sederhana, dinding kayu rapuh dan bangku reyot, tapi penuh semangat belajar. Ada pula seorang tenaga kesehatan yang teringat pasien-pasien kecil di desa, yang sembuh bukan hanya karena obat, tapi juga karena doa dan ketulusan.
Di balik barisan pegawai itu, keluarga mereka pun ikut merasa lega. Ada orang tua yang pernah berbisik lirih dalam doa malam, agar anaknya tak lagi hidup dalam ketidakpastian.
Ada pasangan hidup yang setia mendukung, meski sering kali dapur harus berhemat demi bertahan. Ada anak-anak kecil yang bangga, karena mulai esok ayah atau ibu mereka resmi dipanggil sebagai abdi negara.
Dan di Lapangan Upacara Kantor Bupati, tepat pukul 07.45 WIT, semua kisah itu berpadu dalam satu upacara sederhana, tapi penuh makna.
Buru Selatan, dengan lautnya yang biru dan pegunungannya yang hijau, seakan ikut bertepuk tangan. Alam ikut menjadi saksi bahwa pada pagi itu, janji pengabdian disematkan.
Seorang pegawai mungkin akan berbisik dalam hati:
> “Inilah waktuku, bukan untuk mengejar nama,
Tapi untuk melayani, setulus jiwa.
Di teluk biru, di tanah hijau,
Aku berdiri, mengabdi untukmu Buru Selatan tercinta.”
Dengan SK di tangan, langkah mereka ke depan akan tetap panjang dan penuh tantangan. Namun kali ini, mereka tak lagi sendiri. Mereka berjalan dengan pengakuan, dengan legitimasi, dan dengan keyakinan bahwa pengabdian selalu punya arti.
(***)
…






